MAAL HIJRAH

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PENGENALAN

Allah berfirman, “Barang siapa yang berhijrah di jalan Allah niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (An-Nisa: 100)

Hijrah adalah peristiwa yang besar karena hijrah inilah yang merupakan titik tolak bagi tegaknya nilai-nilai Islam dalam kehidupan nyata melalui terwujudnya daulah Islamiyah (negeri yang Islami), yaitu negeri Madinah.

Harus kita ingat bahwa sebenarnya hijrah secara fisik dari satu tempat ke tempat yang lain atau dari satu negara ke negara yang lain bukan hal baru hanya diperintah kepada Nabi Muhammad Saw, tapi Nabi-Nabi sebelumnya juga diperintah dan para Nabi itu melaksanakannya. Nabi Ibrahim as diperintah oleh Allah untuk hijrah ke suatu tempat sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur' an yang artinya: Dan berkatalah Ibrahim: "Sesungguhnya aku akan berpindah ke (tempat yang diperintahkan) Tuhanku (kepadaku); sesungguhnya Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" (QS 29:26).

Disamping Ibrahim as, nabi Musa as juga harus hijrah ke negeri yang lain karena adanya ancaman pembunuhan terhadap dirinya, Allah berfirman yang artinya: Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang berkelahi; yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir'aun). Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah musuhnya itu (QS 28:15).

Disamping itu terdapat juga ayat lain yang menegaskan tentang hijrahnya Musa ke kota yang lain, yaitu ke negeri Madyan atas saran seorang laki-laki yang mengetahui rencana pembunuhan atas diri nabi Musa as, Allah berfirman yang artinya: Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota bergegas-gegas seraya berkata: Hai Musa, sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding tentang kamu untuk membunuhmu, sebab itu keluarlah (dari kota ini) sesungguhnya aku termasuk orang yang memberi nasihat kepadamu. Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut menunggu-nunggu dengan khawatir, dia berdo'a: "Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang zalim itu" (QS 28:20-21).

Selain Ibrahim dan Musa, Nabi Nuh juga diperintah berhijrah ketika akan terjadi banjir besar dengan menggunakan perahu yang dibuatnya sendiri, Allah berfirman yang artinya: Hingga apabila perintah kami datang dan dapur (permukaan bumi) telah memancarkan air, Kami berfirman: "muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang dan keluargamu, kecuali orang yang terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkan pula) orang-orang yang beriman" (QS 11:40).

 

Pengertian Hijrah

Para ahli bahasa berbeda pendapat dalam mengartikan kata “hijrah” namun kesemuanya berkesimpulan bahwa hijrah adalah menghindari/menjauhi diri dari sesuatu, baik dengan raga, lisan dan hati. Hijrah dengan raga berarti pindah dari suatu tempat menuju tempat lain, seperti firman Allah, “dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka” (An-Nisa: 34), dan hijrah dengan lisan berarti menjauhi perkataan kotor dan keji, seperti firman Allah, “Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik” (Muzammil: 10), sementara hijrah dengan hati berarti menjauhi sesuatu tanpa menampakkan perbuatan, seperti firman Allah, “Berkatalah Rasul: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an ini suatu yang tidak diacuhkan’ “. (Al-Furqan: 30). Dan bisa juga berarti dengan semuanya, seperti firman Allah, “dan perbuatan dosa, maka jauhilah” (Al-Muddatstsir: 5)

Adapun makna hijrah menurut Al-Qur’an memiliki beberapa pengertian, dimana kata hijrah disebutkan dalam Al-Qur’an lebih 28 kali di dalam berbagai bentuk dan makna; ada dalam bentuk kata kerja untuk masa lampau yaitu sebanyak 12 kali, atau kata kerja untuk masa sekarang dan akan datang yaitu sebanyak 3 kali, atau dalam bentuk perintah sebanyak 6 kali, masdar (kata keterangan) yaitu sebanyak 1 kali, ataupun dalam bentuk subyek, yaitu sebanyak 6 kali, baik dalam bentuk singular 1 kali atau plural umum 4 kali atau khusus wanita 1 kali.

Adapun makna hijrah itu sendiri seperti yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an adalah sebagai berikut:

Hijrah berarti mencela sesuatu yang benar karena takabur, seperti firman Allah, “Dengan menyombongkan diri terhadap Al-Qur’an itu dan mengucapkan perkataan-perkataan keji” (Al-Mu’minun: 67)
Hijrah berarti pindah dari suatu tempat ke tempat yang lain guna mencari keselamatan diri dan mempertahankan aqidah. Seperti firman Allah, “Barangsiapa yang berhijrah di jalan Allah niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak”. (An-Nisa: 100)
Hijrah berarti pisah ranjang antara suami dan istri, seperti firman Allah, “Dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka” (An-Nisa: 34)
Hijrah berarti mengisolir diri, seperti ucapan ayahnya Nabi Ibrahim kepada beliau, “Dan tinggalkanlah aku dalam waktu yang lama”. (Maryam: 46)

 

Hakikat Hijrah

Dari makna hijrah di atas dan melihat perjalanan dakwah Rasulullah saw seperti yang terekam dalam ayat-ayat Al-Qur’an Al-Karim, dapat disimpulkan bahwa hakikat hijrah terbagi pada dua bagian:

1. Mensucikan diri

Hijrah dalam arti menjauhi kemaksiatan dan menyembah berhala, seperti dalam firman Allah, “Dan perbuatan dosa, maka jauhilah” (Muddatstsir: 5) dan firman-Nya, “Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik” (Muzammil: 10)

Kedua ayat di atas turun di masa Rasulullah saw memulai dakwah, pada saat itu nabi saw diperintahkan oleh Allah untuk menjauhi diri dari perbuatan keji dan mungkar dan dari mengikuti perbuatan syirik dan dosa seperti yang dilakukan oleh orang musyrik di kota Mekkah saat itu. Sehingga dengan hijrah; hati, perkataan dan perbuatan menjadi bersih dari segala maksiat, dosa dan syirik.

Di samping itu Allah juga memerintahkan kepada Beliau untuk bersabar terhadap cacian, cercaan, makian, siksaan, intimidasi dan segala bentuk penolakan yang bersifat halus dan kasar, dan berusaha untuk menghindar dari mereka dengan cara yang baik.

Cara ini pula yang diterapkan oleh Rasulullah dalam berdakwah kepada para sahabatnya hingga pada akhirnya beliau berhasil mencetak generasi yang berjiwa bersih, berhati suci, bahkan membentuk generasi yang ideal, bersih dari kemusyrikan, kekufuran dan kemunafikan, kokoh dan tangguh, dan memiliki ikatan ukhuwah islamiyah yang erat. Padahal sebelumnya mereka tidak mengenal Islam bahkan phobi terhadapnya, namun setelah mengenal Islam dan hijrah ke dalamnya, justru menjadi pionir bagi tegaknya ajaran Islam. Kisah sang khalifah Umar bin Khathab ra, menarik untuk kita simak; beliau di masa awal dakwah sebelum memeluk Islam dikenal dengan julukan “penghulu para pelaku kejahatan”, namun setelah hijrah beliau menjadi pemimpin umat yang disegani, tawadhu dan suka menolong orang miskin, beliau menjadi tonggak bagi tegaknya ajaran Islam.

Begitupun dengan kisah Khalid bin Walid, Abu Sofyan dan sahabat yang lainnya, menjadi bukti kongkret akan perjalanan hijrah mereka dari kegelapan, kekufuran dan kemaksiatan menuju cahaya Allah. Karena itu pula Rasulullah saw pernah bersabda, “Sebaik-baik kalian di masa Jahiliyah, sebaik-baik kalian di masa Islam, jika mereka mau memahami”.

Hijrah secara umum artinya meninggalkan segala macam bentuk kemaksiatan dan kemungkaran, baik dalam perasaan (hati), perkataan dan perbuatan.

Hijrah ini juga merupakan sunnah para nabi sebelum Rasulullah saw diutus, dimana Allah memerintahkan para utusannya untuk melakukan perbaikan diri terlebih dahulu, seperti nabi Ibrahim, di saat beliau mencari kebenaran hakiki dan menemukannya, beliau berkata kepada kaumnya, “Sesungguhnya saya akan pergi menuju Tuhan saya, karena Dialah yang akan memberi hidayah kepada saya”. Begitu pula dengan kisah nabi Luth saat beliau menyerukan iman kepada kaumnya, walaupun kaumnya mendustakannya, dan bahkan mengecam dan mengancam akan membunuhnya, namun beliau tetap dalam pendiriannya dan berkata, “Sesungguhnya saya telah berhijrah menuju Tuhan saya, sesungguhnya Dialah yang Maha Perkasa dan Bijaksana”. (Al-Ankabut: 26)

Hijrah ini sangatlah berat, karena di samping harus memiliki kesabaran, juga dituntut memiliki ketahanan ideologi dan keyakinan agar tidak mudah terbujuk rayuan dan godaan dari kenikmatan dunia yang fana, dan memiliki ketangguhan diri dan tidak mudah lentur saat mendapatkan cobaan dan siksaan yang setiap saat menghadangnya, berusaha membedakan diri walaupun mereka hidup di tengah-tengah mereka, karena ciri khas seorang muslim sejati “yakhtalitun walaakin yatamayyazun” (bercampur baur namun memiliki ciri khas tersendiri/tidak terkontaminasi).

Adapun urgensi dari hijrah ini sangatlah besar, dimana suatu komunitas tidak akan menjadi baik kalau setiap individu yang ada dalam komunitas tersebut telah rusak, namun sebaliknya; baiknya suatu komunitas bergantung kepada individu itu sendiri. Karena -dalam rangka membentuk komunitas yang bersih, taat kepada Allah dan syariat-syariat-Nya- pengkondisian sisi internal melalui pembersihan jiwa dan raga dari segala kotoran, baik hissi (bathin) dan zhahiri (tampak) merupakan hal yang sangat mendasar sekali sebelum melakukan perbaikan terhadap sisi external.

Demikianlah hendaknya yang harus kita pahami akan makna dan hakikat hijrah, dimana krisis multidimensi sudah begitu menggejala dalam tubuh umat Islam, dan diperparah dengan terkikisnya norma-norma Islam dalam tubuh mereka; perlu adanya pembenahan diri sedini mungkin, diawali dari diri sendiri, lalu setelah itu anggota keluarga, lingkungan sekitar dan masyarakat luas.

2. Pindah Dari Suatu Tempat Ke Tempat Yang Lain

Dalam ayat-ayat yang berkenaan tentang hijrah banyak kita temukan bahwa mayoritas dari pengertian hijrah adalah pindah dari suatu tempat ke tempat yang lainnya, ataupun secara spesifik berarti pindah dari suatu tempat yang tidak memberikan jaminan akan perkembangan dan keberlangsungan dakwah Islam serta menjalankan syari’at Islam ke tempat yang memberikan keamanan, ketenangan dan kenyamanan dalam menjalankan syariat Islam tersebut.

Namun hijrah dalam artian pindah tempat tidak akan berjalan dan terealisir jika hijrah dalam artian yang pertama belum terwujud. Karena bagaimana mungkin seseorang atau kelompok sudi melakukan hijrah (pindah) dengan menempuh perjalanan yang sangat jauh, meninggalkan keluarga, harta dan tempat tinggal ke tempat yang sama sekali belum dikenal, tidak ada sanak famili dan harta menjanjikan di sana kecuali dengan keimanan yang mantap dan keyakinan yang matang terhadap Allah.

Dengan berhasilnya hijrah yang pertama secara otomatis mereka pun siap melakukan hijrah yang kedua, yang mana tujuannya adalah mempertahankan akidah walaupun taruhannya adalah nyawa. Siap meninggalkan segala apa yang mereka miliki dan cintai, siap berpisah dengan keluarga dan sanak famili, bahkan siap meninggalkan tanah kelahiran mereka.

Salah satu contoh kongkret yang dapat dijadikan ibrah adalah hijrahnya Suhaib bin Sinan Ar-Rumi, seorang pemuda yang pada awalnya terkenal dengan lelaki yang ganteng dan rupawan, kaya raya, namun karena akidah yang sudah melekat di hatinya, beliau rela meninggalkan itu semua, karena orang kafir melarang beliau berhijrah jika hartanya ikut dibawa, akhirnya dengan berbekal seadanya beliau pun pergi melaksanakan hijrah, dan ketika Rasulullah saw mendengar kabar tersebut, beliau pun bersabda sambil memuji apa yang dilakukan Suhaib, “beruntunglah Suhaib, beruntunglah Suhaib!!”

Oleh karena beratnya perjalanan hijrah Allah memposisikannya sebagai jihad yang besar dan mensejajarkannya dengan iman yang kokoh. Kita bisa lihat dalam ayat-ayat Al-Qur’an, Allah menyebutkan kedudukan hijrah ini dan ganjaran bagi mereka yang melakukan hijrah.

 

 

Kedudukan Hijrah

Hijrah merupakan simbol akan iman yang hakiki (manifsetasi iman sejati), bahwa seorang yang berhijrah berarti telah mengikrarkan diri dengan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, sedangkan aplikasi dari keimanan tersebut adalah siap dan rela meninggalkan segala sesuatu yang akan terjadi seperti hijrah demi mempertahankan akidah yang diyakini. Karena hakikat iman itu sendiri adalah pengakuan melalui lisan, dibenarkan dalam hati dan diaplikasikan dalam perbuatan, sedangkan hijrah di sini merupakan salah satu dari wacana tersebut. (Al-Baqarah: 218) (Al-Anfal: 72,74) (Al-Ahzab: 6)
Hijrah merupakan ujian dan cobaan, karena setiap orang yang hidup pasti akan mendapatkan suatu cobaan, terutama bagi orang yang beriman, sebesar apa keimanan seseorang maka sebesar itu pula cobaan, ujian dan fitnah yang akan dihadapi. Meninggalkan harta, keluarga, sanak famili dan tanah air merupakan cobaan yang sangat berat, apalagi tempat yang dituju masih mengambang, sangat tidak bisa dibayangkan akan kerasnya ujian dan cobaan yang dihadapi saat manusia sudah mengikrarkan diri sebagai hamba Allah. (16:110)
Hijrah sama derajatnya dengan jihad, karena hijrah merupakan salah satu cara mempertahankan akidah dan kehormatan diri maka Allah SWT mensejajarkannya dengan jihad dijalan-Nya yang tentunya ganjarannya pun akan sama dengan jihad. (Al-Baqarah: 218), (Al-Anfal: 72,74)
Ganjaran Orang yang Berhijrah

Adapun ganjaran bagi orang yang melakukan hijrah karena Allah, maka bagi mereka ganjaran yang berlimpah dan tempat serta derajat yang tinggi di sisi Allah, hal ini bisa kita lihat dalam firman Allah yang berkenaan tentang ganjaran bagi orang berhijrah sebagai berikut:

Rezki yang berlimpah di dunia (An-Nisa: 100) (Al-Anfal: 79)
Kesalahan dihapus dan dosa diampuni (Ali Imran: 195)
Derajatnya ditinggikan oleh Allah (At-Taubah: 20)
Kemenangan yang besar (At-Taubah: 20, 100)
Tempat kembalinya adalah surga (At-Taubah: 20-22)
Mendapatkan ridha dari Allah (At-Taubah: 100)
Kalau kita lihat dari kenikmatan yang diberikan oleh Allah SWT kepada mereka yang mau mengorbankan diri dalam mempertahankan keimanan, mungkin tidak sebanding, karena begitu banyaknya kenikmatan yang diberikan, kenikmatan di dunia; berupa rezki yang berlimpah, kelapangan tempat tinggal, dan kenikmatan akhirat; dosa-dosa diampuni, derajat yang tinggi di sisi Allah, dan mendapatkan kemenangan yang besar serta surga yang luasnya seluas antara langit dan bumi sebagai tempat kembali yang kekal, namun yang lebih utama dari semua janji tersebut adalah mendapatkan ridha dari Allah, sehingga dengan ridha Allah dimana dan ke manapun orang yang diridhai itu berada dan pergi maka Allah akan selalu berada di sisinya, kehidupannya akan terjamin, dan yang lebih utama mendapat kenikmatan yang besar yaitu dapat melihat Allah di akhirat kelak.

 

 

Apakah relevan melakukan hijrah pada saat ini?

Melihat kenyataan yang ada memang hijrah pada saat ini masih sangat relevan untuk diterapkan terutama yang berkaitan dengan hijrah nafsiyah (individu) dengan berusaha menjauhkan diri dari melakukan perbuatan yang menyimpang dan berusaha memperbaiki diri untuk bersih dari segala perbuatan kotor, sehingga hati, jiwa dan raga serta segala perbuatan menjadi suci. Dan setelah itu berusaha menghijrahkan keluarga, kerabat, lingkungan dan masyarakat yang ada di sekitarnya (terdekat), hingga pada akhirnya membentuk komunitas yang siap melakukan hijrah. “Barang siapa yang berhijrah di jalan Allah niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barang siapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

(Hadith Riwayat Imam Malik)

 

 

Hakikat Hijrah

Secara harfiyah, hijrah itu berarti at turku yang artinya meninggalkan, baik meninggalkan tempat maupun meninggalkan sesuatu yang tidak baik, namun hijrah secara fisik dari satu tempat ke tempat lain pada masa sekarang ini bukanlah suatu kemestian, kecuali apabila negeri yang kita diami tidak memberikan kebebasan kepada kita untuk mengabdi kepada Allah Swt atau negri itu sudah sangat rusak yang tingkat kemaksiatan sudah tidak terkira dan sangat sulit untuk memperbaikinya. Oleh karena itu hakikat hijrah yang sebenarnya adalah apa yang disebut dengan hijrah ma'nawiyah, yaitu hijrah dalam arti meninggalkan segala bentuk yang tidak dibenarkan oleh Allah Swt. Dalam hal ini Rasul Saw bersabda:

Orang yang berhijrah itu adalah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang Allah atasnya (HR. Bukhari dan Muslim).

Apabila kita sederhanakan, sekurang-kurangnya ada empat bentuk hijrah secara ma'nawi.

Pertama, hijrah i"tiqadiyah, yaitu meninggalkan segala bentuk keyakinan, kepercayaan dan ikatan-ikatan yang tidak dibenarkan oleh Allah Swt. Ini merupakan kemestian bagi setiap muslim sehingga sangat tidak dibenarkan apabila keyakinan dan kepercayaan seorang muslim masih bercampur dengan keyakinan dan kepercayaan yang tidak Islami. Namun kita amat menyayangkan, hingga kini masih begitu banyak orang yang mengaku muslim tapi kepercayaan dan keyakinannya masih bercampur dengan kepercayaan dan keyakinan yang tidak benar.

Kedua, hijrah fikriyah, yaitu meninggalkan segala bentuk pola berpikir yang tidak sesuai dengan pola berpikir yang Islami, ini berarti setiap muslim harus selalu berpikir dalam kerangka kebenaran Islam, dia tidak boleh memikirkan sesuatu guna melakukan hal-hal yang tidak benar. Di dalam Al-Qur' an Allah Swt sendiri memberikan rangsangan kepada kita agar berpikir dalam rangka taat kepada-Nya, misalnya saja ada firman Allah yang artinya: Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al kitab?. Maka tidakkah kamu berpikir (QS 2:44).

Ketiga, hijrah syu'uriyah, yaitu meninggalkan segala bentuk perasaan yang cenderung kepada hal-hal yang tidak benar, bila orang sudah hijrah dari perasaan-perasaan yang tidak benar, maka jiwanya menjadi hidup sehingga jiwanya menjadi sensitif atau peka terhadap segala bentuk kemaksiatan yang membuatnya tidak akan membiarkan kemaksiatan atau kemunkaran itu terus berlangsung, dalam kaitan ini rasulullah saw bersabda: Barangsiapa melihat kemunkaran, hendaklah dia merubah (mencegah) dengan tangan (kekuasaan)nya, bila tidak mapu hendaklah dia merubah (mencegah) dengan lisannya dan bila tidak mampu juga, hendaklahka dia merubah (mencegah) kemunkaran itu dengan hatinya, yang demikian itulah selemah-lemah iman (HR. Muslim).

Keempat, hijrah sulukiyah, yaitu meninggalkan segala bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Allah Swt. Ini berarti seorang muslim sangat tidak dibenarkan melakukan hal-hal yang dilarang Allah dan Rasul-Nya, maka kalau yang dilarang itu tetap dikerjakan oleh manusia, cepat atau lambat, manusia itu akan mengalami akibatnya, baik di dunia maupun di akhirat, begitu juga dengan perintah Allah yang tidak dikerjakannya. Sebagai salah satu contoh, zina merupakan sesuatu yang harus dijauhi oleh manusia dan bila ada orang yang melakukannya, maka hukuman yang tegas harus diberlakukan, tapi kenyataan menunjukkan bahwa zina itu dibiarkan saja terus berlangsung, bahkan fasilitasnya disediakan sementara orang yang melakukannya tidak dihukum sebagaimana hukum yang terdapat di dalam Al-Qur' an, maka yang terjadi kemudian adalah munculnya penyakit yang sangat menakutkan dan belum ditemukan apa obatnya sementara martabat manusia juga menjadi semakin rendah.

Dari pembahasan di atas menjadi jelas bagi kita bahwa hakikat hijrah itu sebenarnya adalah komitmen pada ketentuan-ketentuan dengan meninggalkan segala bentuk sikap dan prilaku yang tidak menunjukkan ketaatan kepada Allah Swt. Dalam hal ini Rasulullah Saw bersabda:

Apabila engkau mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka engkau orang yang berhijrah (HR. Ahmad dan Bazzar).

Apabila engkau meninggalkan perbuatan yang keji, baik yang nyata maupun yang tersembunyi, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka engkau orang yang berhijrah (HR. Ahmad dan Bazzar).

Karena hakikat hijrah adalah melaksanakan perintah Allah dengan meninggalkan kemalasan dan kedurhakaan kepada-Nya serta meninggalkan larangan-larangan-Nya dengan meninggalkan segala bentuk kesukaan atau kecintaan kita kepada kemaksiatan, maka hijrah itu harus kita lakukan sepanjang perjalanan hidup kita sebagai muslim, kesemua ini tentu saja menuntut kesungguhan (jihad). Karena itu iman, hijrah dan jihad merupakan kunci bagi manusia untuk meraih derajat yang tinggi dan kemenangan dalam hidup melawan musuh-musuh kebenaran, Allah berfirman yang artinya: Orang-orang yang beriman, berhijrah dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.

 

 

KEGEMILANGAN TAQWIM HIJRI

Takwim hijri pernah digunakan dengan menyeluruh oleh seluruh dunia Islam suatu ketika dulu. Penggunaan takwim ini bukan sekadar dalam hendak menentukan ibadah umat Islam malah begitu luas samada dalam kehidupan seharian mahupun dalam urusan rasmi. Namun penggunaannya sekarang sudah lebih kecil dan terpinggir.

Umat Islam telah mengangkat martabat taqwim qamari apabila menerima sistem qamari tulen dalam bentuk yang paling mudah, iaitu satu tahun dengan 12 bulan qamari yang tepat dan mudah. Sebelum ini, penduduk Makkah, melalui amalan-amalan mengubah kedudukan-kedudukan bulan (misalnya bulan-bulan yang melarang peperangan ) untuk menyesuaikannnya dengan nafsu dan selera mereka. Perintah yang berkaitan dengan larangan kabisat dan salahguna ini terdapat dalam al-Quran. Firman Allah SWT dalam al-Quran :

Maksudnya:
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa”.
(at-Taubah:36)


Takwim Hijri yang diguna sekarang ini, pada asalnya dikenali sebagai takwim Islam. Pada mulanya Takwim Islam hanya mengambil nama tahunnya berdasarkan peristiwa besar yang berlaku dalam tempoh 12 bulan tersebut. Contohnya tahun Gajah bersempena dengan peristiwa Abrahah dengan tentera bergajah menyerang Mekah, Tahun Dukacita bersempena kematian Saidatina Khatijah dan Abi Thalib dan tahun Bah bersempena kejadian banjir pada tahun tersebut.

Takwim Hijri hanya bermula apabila Khalifah Saidina Umar r.a, mengarahkan takwim Islam disusun kembali dengan mengambil tarikh hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah. Menurut sejarah Islam, Saidina Umar telah mengambil langkah tersebut, kerana baginda telah menerima tiga pucuk surat yang telah mengelirukan iaitu:

1. Surat daripada Abu Musa al-Ashaari dengan tidak disebutkan tarikhnya;
2. Sepucuk surat daripada Gabenornya di Mesir yang mencatatkan ‘Syuhur Syaban’ dengan tidak pula menyebutkan bilangan tahun;
3. Beliau juga telah menerima sepucuk surat dari seorang sahabat Rasul SAW bernama Ya’la ibni Umayyah dari Yaman yang mencatatkan tarikh, nama bulan serta tahun yang diasaskan dari tarikh Hijrah Nabi SAW.

Apabila Saidina Umar r.a melihat surat Ya’la ibni Umayyah, beliau tertarik dengan susunan tarikh yang ditulis oleh Ya’la ibni Umayyah. Baginda kemudian telah memanggil sahabat-sahabat untuk bermesyuarat pada hari Rabu, 20 Jamadil Akhir tahun 17 H. Hasil mesyuarat inilah akhirnya memutuskan takwim Islam disusun semula bermula pada tarikh hijrah Nabi SAW ke Madinah. Menurut ahli falak Malaysia yang terkenal, al-Marhum Tuan Syeikh Muhammad Tahir Jalaluddin al-Minangkabaui menyatakan bahawa hijrah Nabi SAW, ialah pada pagi hari Isnin 2 Rabiul Awal tahun 53 dari tahun baginda SAW dilahirkan dan tahun 13 dari tahun baginda dilantik menjadi Rasul. Berdasarkan kajian beberapa ahli falak terkemudian menyatakan bahawa tahun 01 Muharram 01 H bersamaan dengan 16 Julai 622 Masihi.

Selepas itu takwim Hijri bermula dan diguna hinggalah sekarang oleh umat Islam. Takwim Hijri digunakan oleh umat Islam dalam menentukan segala hari kebesaran, haul zakat, tempoh iddah, umur baligh dan segala ibadah dalam Islam perlu merujuk kepada tahun Hijri. Ini bertepatan dengan firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah : 189:

Maksudnya: “ Orang-orang bertanya kepada mu Ya Muhammad akan hikmah anak-anak bulan. Katakanlah ia ( anak-anak bulan ) adalah waktu-waktu manusia dan waktu haji.”

Menurut Ibn Kathir dalam mentafsirkan ayat di atas :

“ Diciptakan oleh Allah SWT hilal itu sebagai panduan manusia dalam menentukan waktu berpuasa & berbuka, idah, haul zakat, tempoh berhutang , waktu haji & lain-lain.”

Takwim Hijri merupakan salah satu dari jenis takwim yang merujuk kepada peredaran bulan (takwim Qamariah ) . Walaupun pada masa sekarang takwim masihi yang merujuk kepada peredaran matahari ( taqwim syamsiah ) lebih digunakan sekarang, namun pengaruhnya yang lebih besar daripada bulan, adalah suatu perkara yang sebenarnya agak baru. Adalah tidak memeranjatkan bahawa hampir kesemua tamadun awal manusia bermula dengan kalendar qamari seperti Babylon, Yunani, Yahudi, dan Mesir di kawasan Timur Tengah; Hindu dan China.

Sebenarnya takwim hijri mempunyai lebih banyak kelebihan dari mana-mana taqwim, antaranya :

1. Taqwim Hijri mengunakan sistem Qamariah yang tulen dan tidak bercampur aduk dengan sistem Syamsiah.
2. Penggunaan bulan sebagai rujukan susunan taqwim adalah disebabkan oleh kekuatan sifat astronomi dan saintifiknya berbanding dengan matahari. Sistem kitaran bulan merupakan sistem kitaran yang tepat dan ringkas. Maka hampir semua tamadun satu ketika dulu menggunakan sistem qamari sepenuhnya.
3. Taqwim Hijri yang berdasarkan kitaran qamari tulen, merupakan lambang hasil hubungan yang rapat antara bidang sains, syariah dan masyarakat.
4. Kalender Qamari Islam juga, lebih ringkas dan lengkap dengan melibatkan kenampakan pertama anak bulan.
5. Kalender Qamari Islam yang sememangnya mencabar dari segi pemerhatian cakerawala, Ilmu Falak dan matematik, dengan penekanannya terhadapnya kenampakan terawal anak bulan, menjadi lebih mencabar dari segi sains dalam Ilmu Falak.


Usaha menjayakan taqwim Hijri termasuk jangkaan kenampakan anak bulan menjadi aktiviti yang bersungguh-sungguh, teliti dan mencabar kepada ahli sains Islam yang terbaik dalam keseluruhan era kegemilangan sains Islam, seperti Yaqub ibn. Tariq, al-Khawarizmi, al-Battani, al-Farghani, al-Sufi, al-Biruni, al-Tusi dan Omar al-Khayyam. Mereka adalah sebahagian dari ahli sains yang terkemuka yang telah mencurahkan segala keringat untuk menaikkan martabat taqwim Hijri.

Renungan :

Setelah kita melihat sirah pembentukkan dan kelebihan takwim hijri, maka marilah kita fikirkan beberapa perkara pula :

1. Apakah sumbangan kita dalam memartabatkan kembali takwim hijri ini ? Penggunaan takwim hijri yang sangat dekat dengan perlaksanaan ibadah umat Islam masih lagi terpinggir dalam kehidupan kita. Sebaliknya takwim Masihi yang pada mulanya dikembang dan disusun oleh agama Kristian terus menguasai dunia takwim kita.

2. Sesetengah golongan nampaknya begitu ghairah dengan sambutan tahun Masihi, dengan meletakkannya sebagai titik tolak memulakan kehidupan baru, dengan cara berseronok yang tidak selari dengan kehendak agama Islam. Kenapa tidak kita meletakkan tahun hijrah sebagai titik tolak bagi memulakan penghidupan baru. Adakah Maal Hijrah setiap tahun hanyalah satu cuti umum dalam kalendar tahunan kita semata-mata?

3. Saban tahun sambutan perayaan tahun masihi di sambut meriah dengan pelbagai sambutan dan tajaan dari pelbagai pihak swasta. Tetapi ketika sambutan Maal Hijrah, segala sambutan dan perbelanjaan yang amat terhad hanya di tanggung dan ditaja oleh kerajaan dan Jabatan Agama Islam sahaja. Ini menunjukkan masih ramai di antara kita yang masih tidak menunjukkan sensitiviti kepada perkembangan Taqwim Hijri.

4. Kajian berkaitan sistem taqwim Hijri yang boleh diterima oleh semua pihak dan negara Islam patut dijalankan oleh pihak-pihak berkaitan seperti OIC bagi menyatukan dan memperkembangkan taqwim hijri ke arah mewujudkan sistem takwim hijri antarabangsa.

5. Penggunan takwim hijri sepatutnya digunakan dengan meluas dalam kehidupan seharian kita sebagai seorang muslim. Contohnya dalam surat menyurat, tarikh lahir, catatan diari dan sebagainya boleh dianggap sebagai langkah permulaan. Di pihak yang lebih besar seperti kerajaan, organisasi dan syarikat, bolehlah menggunakan taqwim hijri dalam surat rasmi, taqwim aktiviti dan segala catatan tarikh disertakan dengan takwim hijri.

6. Apakah begitu besar dan bererti 1 Januari itu secara logik, jika dibandingkan dengan hari-hari lain melainkan hanya menjadi tanda bermulanya tahun baru berasaskan pengiraan takwim matahari yang mempunyai asal-usulnya kepada agama Kristian ? Sedangkan Islam mempunyai kiraan takwim sendiri apabila Saidina Umar al-Khattab menetapkan bermulanya peristiwa hijrah Rasulullah sebagai tahun bermulanya pengiraan takwim Islam.

Justeru, marilah kita berusaha dan menyokong usaha pihak-pihak yang mahu memartabatkan Taqwim hijri ini. Ia adalah satu usaha yang amat mulia, dalam meneruskan usaha yang telah dimulakan oleh Saidina Umar r.a. Peristiwa hijrah yang menjadi batu asas permulaan Taqwim Hijri mempunyai hikmah dan pengajaran yang cukup besar dan sangat hampir dengan umat Islam.